Istilah
fenomenologi telah lama muncul dan digunakan, sejak Lambert, Kant dan juga
Hegel, dengan arti yang berbeda-beda.[1]
Kant membedakan antara fenomena dan noumena. Yang mana yang pertama adalah
menunjukkan kepada suatu dalam kesadaran dan yang kedua adalah realitas yang
berbeda dari apa yang ditangkap oleh pengamat.[2]
Dan manusia tidak ada kemampuan untuk mengetahui noumena karena sifatnya yang
terselubung dari pikiran dan indera.
Meskipun
demikian fenomenologi berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan
metodologi berfikir pada zaman Husserl.[3]
Yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision dan Lebenswelt sebagai
sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya.
Dan didalam makalah ini akan dibahas tentang konsep fenomenologi Husserl, dan
metode yang digunakannya.
Tentang
Huserl[4]
Nama lengkapnya
adalah Edmund Gustav Albrecht Husserl (8 April 1859, Prostějov – 26
April 1938, Freiburg), ia adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai
bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam
sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai
sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.
Husserl
dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko
(yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Husserl adalah murid Franz
Brentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya mempengaruhi, antara lain, Edith
Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin
Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice
Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen
dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai
seorang tutor (Privatdozent) dari 1887, lalu di Göttingen sebagai
profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada
1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannay dan menulis dengan menggunakan
perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya - karena ia
keturunan Yahudi - yang saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena
pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger.
Pengertian fenomenologi
Istilah
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: Phainestai yang berarti
“menunjukkan” dan “Menampakkan diri sendiri.[5]
Yakni dengan menampakkan realita sesuai dengan dirinya sendiri . dan tugas
utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan antara manusia
dengan realitas.[6] Keterkaitan
ini mendorong manusia untuk mempelajari fenomena-fenomena yang ada dengan
pengalaman langsung dengan realitas tersebut. Sehingga pengalaman tersebut akan
memberikan sebuah penafsiran, yaitu esesnsi dari realitas tersebut. Husserl
menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam
kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan
kategori pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl zurruck zu den
sachen selbt (kembalilah pada realitas itu sendiri).[7]
Dengan kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena
yang ada dengan pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berjalan apa
adanya. Karena pikiran itu hanya bersifat teoritis yang terikat oleh pengalaman
indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena adalah realitas yang
bersifat obyektif.
Dengan
membiarkan fenomena berjalan dengan sendirinya, maka apa yang terlihat adalah
perbuatan-perbuatan kesadaran yang mana berhubungan dengan obyek-obyek serta
pendirian-pendirian yang diamati itu. Jadi fenomenologi itu menguraikan apa
yang dilihatnya dengan melepaskan tiap pretensi bahwa ia sanggup menerangkan sesuatu
tentang apa yang diluar kesadaran.[8]
sehingga dengan melepaskan segala pikiran tentang fenomena tersebut dan dari
segala yang bukan esensi dari fenomena, maka akan terciptalah pengertian murni.
Jadi fenomenologi menjembatani manusia untuk mengungkapkan noumena dari
fenomena.
Dan
hal ini berbeda dengan apa yang diungkapan oleh Kant, yang mana ia menyatakan
bahwasanya tidak mungkin bagi seseorang untuk mengungkapkan noumena,
sebagaimana yang ia ungkapakan:
“Beings
of the understanding are admitted, but with the incalculation of this rule
which admits of no exception; that we neither know nor can know anything
determinate whatever about these pure beings of the understanding, because our
pure concepts of the understanding as well as our pure intuitions extend to
nothing but objects of possible experience, consequently to mere things of
sense”.[9]
Dalam
ungkapannya tersebut Kant berusaha untuk menjelaskan bahwasanya esensi dari
noumena (the Understanding) adalah diakui, tetapi dengan tanpa adanya
perhitungan dari aturan yang tidak mengakui pengecualian; oleh karena itu kita
tidak tahu dan tidak dapat mengetahui penjelasan mengenai keberdaan dari
noumena, karena konsep murni dari noumena adalah sebuah intuisi murni yang
terlepas dari fenomena yang dialami.
Jadi
dengan kata lain, Husserl dengan fenomenologinya mencoba untuk mengkritik fenomenologi
Kant, terutama konsepnya tentang pemisahan antara fenomena dan noumena tersebut.[10]
Metode Fenomenologi Dalam Membaca Fenomena Sosial
Dalam membaca fenomena sosial, Husserl
dalam fenomenologinya menggunakan metode epoche-eiditic vision dan
lebenswelt. Metode ini merupakan sebuah metode yang berbeda dari metode
yang pernh digunakan oleh fenomenolog sebelumnya.
Epoche
dan Eiditic Vision
Husserl
dalam metode fenomenologinya menggunakan prisip Epoche dan eidetic vision. Kata
Epoche berasal dari bahasa yunani yang berarti “menunda keputusan” atau
“ mengosongkan diri dari keyakinan tertentu.”[11]
Dengan kata lain Husserl dalam metode Epoche menyuruh untuk melepaskan
atau menghilangkan campur tangan dari pikiran dan teori-teori yang ada terhadap
fenomena, dan membiarkan fenomena itu berjalan dengan sendirinya. Karena secara
langsung maupun tidak langsung teori-teori tersebut telah memberikan sebuah
pandangan yang salah terhadap fenomena yang ada dan menyebabkan kebenaran
realitas menjauh dari fenomena tersebut. Sehingga dengan mengosongkan fenomena
dari teori maka fenomena tersebut akan tetap murni dan Pure. Jadi
Husserl dengan Epoche-nya berusaha menyusun metodos yang menyingkapkan,
seolah-olah “memperlihatkan” keadaan hakiki pada tiap-tiap obyek pengetahuan
yang mungkin ada, tanpa dicampuri dengan refleksi dan pengetahuan pengalaman
sedikitpun jua.[12]
Setelah
mendapatkan fenomea-fenomena yang pure Husserl melanjutkan ke metode
yang kedua, Eiditic Vision atau disebut juga dengan “Reduksi”, yaitu
mereduksi atau menyaring fenomena-fenomena yang ada untuk sampai ke-Eidos-nya
atau intisari yang sejati.[13]
Jadi dengan Eiditic Vision tersebut
maka akan tersaring dan terbuang dari fenomena-fenomena tersebut perasaan, pikiran dan pandangan yang terbentuk
dari pegalaman[14].
Konsep
Lebenswelt (Dunia-Kehidupan)
Ilmu
sosial dalam fenomenologi Husserl selalu terkait dengan konsep “Lebenswelt”
(Dunia-Kehidupan).[15]
Dengan fenomenologinya Husserl berusaha untuk membangun suatu metode baru dalam
ilmu sosial. Sehingga Ilmu tidaklah merupakan tujuan yang melekat pada dirinya
sendiri, melaikan harus dipandang secara fungsional sebagai bagian dari
kebijaksanaan manusia yang ditujukan untuk memperoleh pengetahuan serta untuk
menguasai alam.[16]
Jadi Ilmu tidak lagi dipandang sebagai
deskripsi mengenai kenyataan yang lebih dalam, yang dapat dipandang sebagai
pembatasan terhadap dunia tempat manusia hidup sehari-hari. Karena apabila ilmu
dijadikan sebagai batas pandang dari realitas, maka kehidupan manusia adalah
tidak ubahnya sebuah kehidupan mekanik yang dikontrol oleh ilmu-ilmu tersebut.
Lebenswelt
adalah aliran kehidupan langsung yang belum kita refleksikan, medan
multiformitas pengalaman, proses hidup yang senantiasa berdenyut dan kita alami
namun tidak sangat jelas bentuknya, nyaris terselubung karena kompleksitasnya. Lebenswelt
ini adalah dunia eksistensial dan eksperiensial nyata yang mendahului pemilahan
abstrak subyek- obyek beserta segala konstruksi ilmiah ikutannya.[17]
Karena dunia kehidupan adalah suatu dunia yang penuh definisi dan definisi itu
bersifat abstraksi, maka tugas dari fenomenologi adalah sebagai deskripsi atas
sejarah Lebenswelt tersebut untuk menemukan endapan makna yang
merekonstruksi kenyataan sehari-hari.[18]
Tawaran
Husserl Terhadap Realitas
Dengan
metode epoche-eidetic vision dan lebenswelt Husserl mencoba untuk
menawarkan bagaimana memahami sebuah realitas secara murni, karena adanya
kecenderungan realitas tersebut tersembunyi oleh teori-teori yang telah
berkembang sebelumnya. Hal ini dikarenakan realitas itu senantiasa dipengaruhi
oleh pengalaman inderawi yang cenderung terikat oleh ruang dan waktu. Oleh
karena itu, agar esensi dari realitas itu dapat terbaca, maka fenomenologi
berusaha mengungkapkan esensi dari realitas tanpa memisahkan esensi tersebut
dari fenomenanya dengan cara melepaskan segala pikiran dan pengalaman inderawi
yang mempengaruhinya. Jadi yang terpenting dalam fenomenologi adalah
mempelajari apa sebenarnya yang dihadapi tanpa membiarkan faktor apapun
melakukan intervensi dan menjauhkannya dari usaha melakukan analisis langsung
terhadap esensi.[19]
Penutup
Fenomenologi merupakan tawaran baru
dalam mempelajari realita yang dikemukan Edmund Husserl sebagai jawaban dari
pernyataan Immanuel Kant yang menyatakan tidak mungkin untuk memahami esensi
dari fenomena (noumena). Dan metodologi yang dikemukakan oleh Edmund Husserl
untuk memahami esensi dari fenomena adalah dengan cara membiarkan fenomena
tersebut sebagai penuntun tanpa adanya faktor yang melakukan intervensi
terhadap fenomena tersebut. Dan dengan membiarkan fenomena tersebut Pure
dari faktor-faktor yang mengintervensinya, maka dapat tersaring dari
fenomena-fenomena tersebut eidos atau intisari sejatinya.
Referensi
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: telaah sistematis
fungsional komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998),
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu: Kajian atas
Asumsi dasar paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan, (Yogyakarta:
Belukar, 2008)
Kant,
Immanuel, Prolegomena to any future metaphysics that will be able to come
forward as science, (Indianapolis: Hackett Publishing Company,1977)
Langeveld, M.J., Menuju ke pemikiran Filsafat, (Jakarta:
Pustaka Sarjana),
Beerling [et.al.], Pengantar Filsafat Ilmu,(Yogyakarta:
Tiara wacana Yogya, 1990)
Djam’annuri,
Studi Agama-agama: sejarah dan pemikiran, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah,
2003),
http://en.wikipedia.org/wiki/Edmund_Husserl/13-02-2009
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0312/03/Bentara/708588.htm/13-02-2009
[1] Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat
Ilmu: telaah sistematis fungsional komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1998), p.81
[2] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian atas Asumsi dasar paradigm dan kerangka teori ilmu pengetahuan, (Yogyakarta:
Belukar, 2008), p.145
[3] Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Op.Cit.,
p.81
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Edmund_Husserl/13-02-2009
[5] Muhammad Muslih, Op.Cit., p.144
[6] Ibid, p.145
[7] Ibid, p.146
[8] Dr. M.J. Langeveld, Menuju ke
pemikiran Filsafat, (Jakarta: Pustaka Sarjana), p.102
[9] Kant, Immanuel, Prolegomena
to any future metaphysics that will be able to come forward as science, (Indianapolis:
Hackett Publishing Company,1977), P.57
[10] Muhammad Muslih, Op.Cit., p.144
[11] Ibid, p.146
[12] Dr. M.J. Langeveld, Op.Cit., p.102
[13] Muhammad Muslih, Op.Cit., p.147
[14] Dr. M.J. Langeveld, Op.Cit., p.102
[15] Muhammad Muslih, Op.Cit., p.148
[16] Beerling [et.al.], Pengantar
Filsafat Ilmu,(Yogyakarta: Tiara wacana Yogya, 1990), p.21
[17]
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0312/03/Bentara/708588.htm/13-02-2009
[18] Muhammad Muslih, Op.Cit., p
[19] Djam’annuri, Studi
Agama-agama: sejarah dan pemikiran, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003),
P.131
2 komentar:
Benar-benar bermanfaat untuk presentasi saya tentang Hegel yang mengkritik pemikirian Kant.
Terima kasih atas infonya...
wow.. blognya idup kembali jol....
Posting Komentar