Islam di Thailand (Problematika Muslim Minoritas)

|



Sebagai sebuah bagian Negara yang berbeda suku dan agama, masyarakat Pattani seringkali mengalami diskriminasi dari pemerintahan Thailand. Hal ini, telah menyebabkan banyak terjadi pertikaian diantara keduanya. Dan diantara tahun 2004-2007 lebih dari 2000 orang telah meninggal dalam pertikaian yang terjadi tersebut. Mulai dari penembakan di masjid Kru Se hingga peristiwa Takbai.[1] Berbagai pertikaian berdarah tersebut merupakan salah satu hal yang timbul dari berbagai macam problem yang dihadapi masyarakat muslim Thailand.


Sejarah Masuknya Islam di Thailand
Islam diperkirakan datang ke kawasan Pattani, Thailand bagaian selatan pada abad ke-10 atau ke-11 lewat jalur perdagangan. Penyebaran Islam dilakukan para guru sufi pengembara dan pedagang yang berasal dari wilayah Arab dan pesisir India. Salah satu bukti yang menguatkan pendapat ini adalah ditemukannya batu nisan bertuliskan Arab dekat Kampung Teluk Cik Munah, pekan Pahang yang bertarikh 1028 M. dalam catatan Emmanuel Gedinho d’Eredia, seorang penulis Portugis pada awal abad ke-17, disebutkan bahwa Islam terlebih dahulu datang ke daerah Pattani dan Pahang, kemudian masuk ke Malaka. Sumber lain, seperti tulisan A. Bangnara, seorang pakar sejarah bangsa Pattani di Thailand, menyebutkan bahwa Islam pada awalnya tersebar di kalangan rakyat biasa. Meskipun demikian, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Islam pada awalnya diterima oleh kalanga penguasa (elite), baru kemudian menyebar ke kalangan rakyat.[2]
Menurut Haji Abdullah Halim Bashah, penulis asal Malaysia, kawasan Pattani—dulu juga dikenal sebagai Langkasuka—yang pertama menerima kedatangan Islam adalah Patthalung, dekat Ligor. Setelah berkembang kurang lebih 300 tahun, kemudian muncul kerajaan Islam di Pattani dengan rajanya yang pertama Sultan Sulaiman Syah. Raja yang juga berkerabat dengan kerajaan di Kelantan Selatan ini berkuasa dari 1357 sampai 1398.[3]
Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan.
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000)[4].

Perkembangan keagamaan
Perkembangan Islam di Pattani dapat dikatakan sebanding dengan perkembangan Islam di Nusantara. Pada zaman kerajaan dan kesultanan di Pattani, Islam menjadi simbol dan paradigma dalam sistem pemerintahannya. Adapun di daerah lainnya seperti bangkok dan Thailand bagian utara, pengaruh Islam lebih terbatas pada pribadi dan kelompok tertentu, terutama etnik Cham, Arab, Hui-hui, India dan Melayu.[5]
Daerah Pattani mempunyai pertalian erat dengan kerajaan Islam Aceh. Pertalian yang dimaksud dapat dilihat dalam dua sudut; Pertama, dari sudut hubungan sejarah Islam dengan Samudera Pasai (sebelum menjadi Aceh). Kedua, dari sudut pengaruh pemikiran Islam dari para ulama Aceh denga Pattani di masa selanjutnya. Pengaruh pemikiran yang dimaksud mencakup fiqih, kalam, maupun tasawuf.
Khusus dalam masalah pemikiran tasawuf, secara tradisi dalam pandangan orang-orang Islam di Pattani, selalu menganggap sumber kerohanian berasal dari Samudera Pasai. Salah seorang ulama Islam dari Pasai yang sangat berperan dalam menyebarkan Islam di Pattani adalah Syeikh Sa’id Barsisa.[6] Syeikh dari Pasai ini sering menyebut wilayah ini dengan sebutan “Patani Darussalam” (Pattani Negeri Damai). Sebagian lain menyebut Pattani dengan “Darul Ma’arif” (Negeri Pengetahuan).
Peran Syeikh Sa’id tidak dapat dipungkiri sangat besar dalam melahirkan ulama-ulama ternama di Pattani. Wan Ahmad,[7]  misalnya. Ia seorang ulama besar yang banyak tinggal di Mekah, dan hampir semua pelajar muslim Nusantara belajar padanya. Selain ahli dalam bidang tata bahasa Arab dan Fiqh, beliau juga ahli tasawuf. Diantara karya-karya Wan Ahmad adalah beberapa hasil kerja beliau dalam bidang tata bahasa yang diterbitkan oleh sebuah percetakan di Kairo, termasuk didalamnya beberapa syair. Dan karya beliau yang lain adalah Bahja al Mubtadin wa farha al mujtadin (1892) dan Fatawa al-pattaniyya.[8] Selain Wan Ahmad, ulama besar yang lainnya adalah Syekih Daud bin Abdullah bin Idris al-Fattani. Ia menonjol dalam bidang fiqh, tetapi cukup menyukai tasawwuf. Karyanya tidak kurang dari 57 buah, dengan berbagai bahasan Studi [9]
Masyarakat muslim Thailand pada umumnya mengamalkan ajaran Islam secara independen, termasuk soal hukum Islam yang berkenaan dengan masalah keluarga, sejauh tidak berkaitan dengan undang-undang negara. Namun demikian, terdapat beberapa badan yang secara langsung menangani syariat Islam, seperti menyangkut undang-undang keluarga dan waris. Lembaga ini dikenal sebagai Majelis Agama Bahagian Wilayah. Pembentukan lembaga ini sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah Thailand lewat keputusan Kerajaan (Royal Decree) yang berkenaan dengan perlindungan terhadap agama Islam pada 1945.
Sejak 1946, pemerintah Thailand juga memberikan hak khusus untuk melaksanakan undang-undang keluarga dan hukum waris sesuai dengan ajaran agama Islam di empat Wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim, yakni Pattani, Narathiwat, Yala, dan Satul. Untuk itu, pemerintah membentuk sebuah lembaga yang disebut Mahkamah Wilayah. Di setiap kantor di keempat wilayah ini terdapat seorang kadi Islam, yang juga disebut Datuk Yuthitham.[10]

Problem-Problem Muslim Thailand
Bagi sebagain masyarakat di Indonesia, konflik yang terjadi di Thailand sebelah selatan adalah konflik yang terjadi karena pertarungan antara Muslim melayu dengan Budhis Thai. Hal ini tidak lepas dari fakta yang ada. Bahwasanya sebagian besar masyarakat di daerah Thailand Selatan khususnya di daerah Pattani adalah orang melayu muslim. Hal ini telah melahirkan berbagai macam problem yang harus diatasi oleh umat muslim Thailand.

a.      Politik, Keamanan dan Sosial
Dinamika politik, keamanan dan sosial telah menumbuhkan gerakan di tingkat lokal di Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Narathiwat, Yala dan Pattani. Diantaranya adalah Barisan Revolusi Nasional (BRN), Pattani United Liberation Organisation (PULO), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP). BRN menuntut pemisahan diri dengan menggunakan ideologi sosialis, dan bekerjasama dengan Partai Komunis Melayu di perbatasan pada tahun 1950an. Sementara PULO adalah gerakan separatis yang menuntut wilayah Patani –sebutan untuk tiga provinsi Narathiwat, Yala dan Pattani- sebagai daerah yang merdeka. Mereka pada tuntutan awal memilih untuk bergabung dengan Malaysia. Wakil Presiden PULO dipengasingan, Haji Lukman Bin Lima, mengumandangkan ’Jihad’ sebagai gerakan melawan ’Pemerintah Kafir Thai-Buddhis’, yang ditujukan untuk mengakhiri dominasi mereka atas wilayah Melayu Islam Patani. GMIP memiliki identitas keislaman yang lebih kuat. Meskipun semua menuntut kemerdekaan, tetapi masing- masing memiliki karakter dan identitas gerakan sendiri. Pada beberapa tahun setelah didirikan, mereka mencoba disatukan dalam satu atap, dengan menggunakan istilah melayu yaitu Bersatu. Tetapi karena sejak awal didirikan dengan ideologi yang berbeda, Bersatu juga tidak efektif untuk menyatukan seluruh gerakan.
Meskipun tidak memiliki peran untuk mengontrol anggota PULO yang masih aktif, generasi tua PULO di Eropa menawarkan upaya negosiasi dengan pemerintah Thailand. Pada Juli 2002, Thaksin memerintah keponakannya Jenderal Chaisit Shinawatra untuk bernegosiasi dengan elemen PULO dan BRN. Ini menunjukkan bahwa kelompok separatis masih perlu diperhitungkan kekuatannya. Meskipun para komandan Bersatu telah ditangkap atau terbunuh, sisa gerilyawan masih melakukan beberapa kekerasan.[11]
Secara prinsip pada tahun 2006, hampir seluruh faksi yang memberontak menandatangani perjanjian nota rekonsiliasi: ’Joint Peace and Development Plan for South Thailand  [Perdamaian Bersama dan Rencana Pembangunan Thailand Selatan]’. Diantara mereka adalah PULO, Barisan Revolusi Nasional Konggres (BRN-C), Bersatu, Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP), dan Barisan Pembebasan Islam Pattani. Tetapi karena pemimpin GMIP yang ditangkap di Malaysia, beberapa anggota masih melakukan operasi di Selatan, demikian juga BRN-C masih melakukan serangan[12].
Di tingkat grassroot, jurnalis Muslim melakukan advokasi yang didukung oleh LSM independen di Thailand. Universitas Prince Sonkla di Pattani juga aktif mendukung upaya perdamaian. The Asian Muslim Action Network (AMAN) juga melakukan upaya rehabilitasi bagi masyarakat korban kekerasan dan generasi muda yang mengalami imbas negatif dari konflik. Disamping, Majelis Ugama, pondok pesantren dan madrasah secara prinsip mendukung upaya rekonsiliasi dan perdamaian.[13] Keinginan kuat mereka tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah atas keamanan, dan lemahnya dukungan atas kemajuan pendidikan secara luas, dan kesempatan kerja di Selatan.


b.      Ekonomi
Sampai akhir abad ke-19, kehidupan ekonomi Pattani sangat bergantung pada kegiatan ekonomi subsisten, seperti pertanian padi, penangkapan ikan, pertambangan, dan perdagangan eceran. Berbagai upaya pembaruan dan pemusatan pemerintahan yang dilakukan Raja Chulalongkorn, terutama sejak 1890-an, membuat pendatang Siam dan pedagang Cina semakin menguasai kendali ekonomi Thailand, termasuk juga Pattani.
Munculnya usaha pertambangan dan perkebunan karet yand dimodali non-muslim sejak awal abad ke-20 ternyata tidak banyak mengubah struktur ekonomi lokal. Masyarakat muslim Pattani harus puas sebagai pekerja rendahan, seperti penyadap karet dan buruh kasar. Bahkan, peluang ekonomi yang baru muncul juga tetap meletakkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan dan rendah pendapatannya, seperti pesuruh di kantor-kantor dan pekerja bangunan[14].
Pemerintah Thailand dan pembisnis non-muslim  telah berhasil dengan baik dalam mengolah hasil bumi baik dalam bidang perkebunan maupun pertambangan, yang mana hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh sebagian besar umat muslim. Pada akhir tahun 1970-an, lebih dari 12 pertambangan material telah dibuat, 10 diantaranya adalah penambangan terbuka di daerah selatan dan  sepertiga dari pemasukan pemerintah Thailand berasal dari wilayah selatan. Meskipun demikian, apa yang dilakukan oleh pemerintah Thailand tersebut tidak mendapat respon yang baik dari sebagian masyarakat  besar muslim. Karena, mereka menganggap bahwasanya pemerintahan imperialis Thailand telah merampas hasil alam masyarakat muslim Thailand. Hal ini dikarenakan tiadanya hubungan timbal balik kepada masyarakat daerah selatan.[15] 

c.       Pedidikan
Sebagian besar masyarakat muslim Thailand lebih banyak mengenal sistem pendidikan  pondok pesantren, seperti yang banyak ditemukan di Jawa, sebagai institusi pendidikan bagi anak-anak mereka. Sistem pendidikan ini pertama kali diperkenalkan oleh salah seorang murid dari sunan Ampel di Jawa, yakni Wan Husein. Ia adalah salah seorang ulama yang berpengaruh di dalam pengembangan Islam di Pattani.[16] Hingga awal abad ke-20, di seluruh Pattani terdapat lebih 500 pondok.
Pada tahun 1921, pemerintah Thailand memberlakukan Peraturan Pendidikan Rendah. Mereka mewajibkan anak-anak muslim untuk masuk sekolah negeri Thai. Anak-anak tersebut diwajibkan menggunakan bahasa Thai, dan bahasa Melayu mulai kehilangan pemakainya. Berbagai kalangan masyarakat muslim mencurigai kebijakan “siamisasi” ini sebagai upaya pemerintah Thailand untuk menggerogoti etnis dan budaya melayu Islam.[17] Hal ini, telah melahirkan protes dari sebagian besar dari masyarakat muslim Thailand. Hingga akhirnya pada tahun 1923 pemerintah mencabut segala kebijaksaannya tersebut.
Pada tahun-tahun selanjutnya, beberapa kasus ketegangan terjadi dalam hal pelaksanaan pendidikan sesuai dengan keinginan pemerintah. Hingga akhirnya, pada pertengahan tahun1960-an, beberapa perbaikan dilakukan, termasuk system pengajaran bahasa Thai, penggunaan bahasa Melayu, guru muslim, dan pemasukan silabus yang menonjolkan sejarah Islam, dan budaya Melayu. Ternyata hal-hal ini membawa kemajuan dan menarik minat kalangan muslim untuk mengikuti program sekolah formal.[18]

Penutup
Pertikaian yang terjadi terus-menerus antara masyarakat muslim dengan pemerintah Thailand lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor ideologi, sosial, ras  dan budaya. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah cenderung mendiskriminasi masyarakat muslim. Hal ini telah menyebabkan sebagaian dari masyarakat muslim tersebut ikut bergabung dengan gerakan anti-pemerintah, bahkan gerakan ini cenderung kepada aksi kekerasan. Usaha pemerintah dalam menangani konflik ini tidak akan berhasil tanpa adanya rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat muslim dan persamaan dalam ide, gagasan dan pedapat.

Referensi
Brown, David Brown. 2004. The State and Ethnic Politics in South-East Asia, (London dan New York: Routledge)
Hall, D.G.E., Sejarah Asia Tenggara, (Surabaya: Usaha Nasional)
Liow, Joseph Chinyong, Muslim Resistence in Southern Thailand and Southern Philippines: Religion, ideology and politics, (Washington: East-West Center, 2006)
Riddell, Peter, Islam And The Malay-Indonesian World, (Singapore: Horizon Book, 2001)
Sholihin, M., Sejarah dan Pemikiran Tasawwuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)
Walker, Dennis P., Conflict Between the Thai and Islamic Cultures in Southern Thailand (Patani) 1948-2005, (Australia: Monash University, 2005)
‘A weekend in the deep South’, http://www.bangkokpost.com/ topstories / topstories.php?id=118623, 9 Mei 2007.
Muslims block roads in South ,http://www.bangkokpost.com/ breaking_news/ breakingnews. php?id =118629,  12 Mei 2007



[1] Peristiwa penangakapan dan penembakan terhadap muslim takbai setelah mereka demonstrasi terhadap pemerintah, lih. ‘A weekend in the deep South’, http://www.bangkokpost.com/ topstories / topstories.php?id=118623, 9 Mei 2007.
[2] Abdullah, Taufik [et.al.], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), P.466
[3] Ibid, P. 467
[4] Brown, David Brown. 2004. The State and Ethnic Politics in South-East Asia, (London dan New York: Routledge), P.48
[5] Abdullah, Taufik [et.al.], Op.Cit., P. 474
[6] Sholihin, M., Sejarah dan Pemikiran Tasawwuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), P.53-54
[7]Wan Ahmad juga dikenal sebagai Ahmad Pattani (1856-1906), ia lahir di desa  Krisek di daerah Pattani
[8] Riddell, Peter, Islam And The Malay-Indonesian World, (Singapore: Horizon Book, 2001), P. 198
[9] Ibid, P. 199
[10] Abdullah, Taufik [et.al.], Op.Cit., P.474
[11] Liow, Joseph Chinyong, Muslim Resistence in Southern Thailand and Southern Philippines: Religion, ideology and politics, (Washington: East-West Center, 2006), P. 35
[12] Riddell, Peter, Op.Cit., P.200
[13] Muslims block roads in South ,http://www.bangkokpost.com/breaking_news/breakingnews. php?id =118629,  24 Desember 2009
[14] Abdullah, Taufik [et.al.],
[15] Walker, Dennis P, Op.Cit., P.86
[16] Abdullah, Taufik [et.al.], Op.Cit., P. 467
[17] Ibid, P. 469
[18] Walker, Dennis P., Op.Cit., P.89

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 Me and My Mind | Template Blue by TNB