Pembicaraan tentang hubungan antara filsafat dengan Islam adalah suatu pembicaraan yang sulit. Dikalangan ilmuan Islam sendiri terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai masalah ini. Ada sebagian diantara mereka yang menolak dengan tegas keberadaan filsafat di dalam Islam dan ada pula yang menerimanya. Akan tetapi, apakah benar bahwasanya antara Islam dan Filsafat itu ada hubungan? atau mungkinkah itu hanya sekedar paradoks yang tak berujung?
Sebelum kita berbicara tentang hubungan antara Islam dan filsafat, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu filsafat. Kata filsafat (Philosophy) diambil dari bahasa Yunani: Philos (Suka, cinta) dan Sophia (kebijaksanaan). Jadi kata itu berarti: cinta kepada kebijaksanaan. Suatu definisi filsafat dapat diberikan dari berbagai pandangan, diantaranya:[1]
Sebelum kita berbicara tentang hubungan antara Islam dan filsafat, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu filsafat. Kata filsafat (Philosophy) diambil dari bahasa Yunani: Philos (Suka, cinta) dan Sophia (kebijaksanaan). Jadi kata itu berarti: cinta kepada kebijaksanaan. Suatu definisi filsafat dapat diberikan dari berbagai pandangan, diantaranya:[1]
1.
Filsafat
adalah sekumpulan sifat dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis.
2.
Filsafat
adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi.
3.
Filsafat
adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4.
Filsafat
adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep.
5.
Filsafat
adalah sekumpulan problema-problema yang berlangsung yang mendapat perhatian
dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Dari
kelima pandangan filsafat tersebut diatas, kita dapat menyimpulkan bahwasanya
tujuan dari manusia berfilsafat adalah untuk memperoleh suatu pengetahuan. Dan
pengetahuan yang dimaksud adalah yang memberikan kesatuan dan system pada
batang tubuh ilmu pengetahuan, dengan cara menyelesaikan setiap
problema-problema dan mencari setiap jawaban dari teka-teki kehidupan dan alam.[2]
Dengan kata lain apabila dikatakan tradisi filsafat maka yang dimaksud adalah
suatu tradisi yang membangun pengetahuan atau tradisi keilmuan.
Di dalam
Islam tradisi keilmuan telah diperkenalkan melalui Al Qur’an dan Al Hadits,
yang mana di dalam keduanya islam tidak hanya membahas apa yang wajib dan yang
dilarang untuk dilakukan oleh manusia, tetapi juga membahas apa yang perlu
diketahuinya. Dengan kata lain, Islam adalah sebuah cara berbuat dan melakukan
sekaligus sebuah cara untuk mengetahui.[3] Jadi,
pada dasarnya tradisi keilmuan dalam Islam lahir melalui pandangan hidup (Worldview)
yang berdasarkan atas kesadaran “Tauhidillah”.
Pengetahuan
didalam agama Islam diperoleh melalui tiga hal:
1.
Pengetahuan
murni dari Tuhan, yang diistilahkan dengan wahyu dan dalam hal ini merujuk
kepada Al Qur’an
2.
Pengetahuan
yang berasal dari Hadits Nabi
3.
Pengetahuan
yang diperoleh dengan menggunakan Ra’yi (penalaran) yang berpedoman pada
Al Qur’an dan Hadits Nabi, yang dalam hal ini disebut dengan Ijtihad
Pada
zaman Rasulullah, tradisi keilmuan yang berkembang pada saat itu lebih
cenderung berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, dan sangat jarang dijumpai ijtihad
pada saat itu.[4]
Hal ini, dikarenakan apabila umat Islam pada saat itu mengalami kesulitan
ataupun menghadapi suatu permasalahan mereka mengembalikannya kepada Rasul.
Untuk
pengetahuan yang berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, pengetahuan tersebut
masih bersifat seminal concept. Yang mana, ilmu-ilmu di dalam keduanya
membutuhkan penafsiran dan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya,
sehingga terbentuk darinya conceptual network.
Pemakaian
ra’yi untuk menggali pengetahuan mulai terjadi pada masa para sahabat,
meskipun pada saat itu tidak semua sahabat setuju untuk menggunakan ra’yi. Oleh
karena itu, pada waktu itu umat Islam terpecah menjadi dua:[5]
1.
Madrasatul
Hadits, ini adalah suatu golongan sahabat yang tetap berpegang teguh kepada Al
Qur’an dan Hadits dalam displin ilmu, dan menolak penggunaan rasio didalamnya.
2.
Madrasatul
Ra’yi, ini adalah suatu golongan sahabat yang memperbolehkan penggunaan akal
didalam disiplin ilmu mereka dengan tetap berlandaskan pada Al-Qur’an dan
Hadits.
Meskipun
telah ada diantara para sahabat yang menggunakan nalar didalam disiplin
ilmunya. Diskursus yang berkembang pada saat itu belumlah sekomplek dengan yang
terjadi sekarang, dan pembicaraan yang menyangkut aqidah masih dianggap Tabu.
Pembicaraan
mengenai aqidah mulai muncul kepermukaan setelah wafatnya Utsman bin Affan dan
terjadinya gejolak politik antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah, yang
dipelopori oleh kaum Khawarij. Dan dari sinilah mulai berkembang disiplin
keilmuan didalam Islam, yang mana pada saat itu hanya berkutat pada masalah
Fiqh. Dan pada tahapan selanjutnya, ulama-ulama Islam mulai mendisiplinkan
ilmu-ilmu sesuai dengan bidang pembahasannya.
Dari
sini kita dapat melihat bahwasanya, kegiatan berfikir umat islam telah muncul
semenjak kerasulan Muhammad SAW. Yang mana pada saat itu ilmu masih bersifat
seminal concept. Jadi, apabila dikatakan bahwasanya filsafat itu adalah
berfikir kritis dan analitis, maka kegiatan ini telah muncul pada zaman nabi.
Dengan kata lain, tradisi filsafat di dalam agama Islam murni lahir dari
pandangan umat Islam sendiri.
[1] Titus, Harold
[et.al.], Persoalan-persoalan filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
P.11-15
[2] Russel,
Bertrand, The Problems of Philosophy: Persoalan-persoalan seputar filsafat, (Yogyakarta:
Ikon Teralitera, 2002), P.183
[3] Bakar, osman, Tauhid
&Sains: esai-esai tentang sejarah dan filsafat sains dalam Islam, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994), P.11
[4] Sayis,
Muhammad Ali, Tarikh Al Fiqh Al Islamiy, (Beirut: Darul Kutub al
Ilmiyyah, 1990), P.19
[5] Ibid, P.52
0 komentar:
Posting Komentar