Antara konflik dan agama pada
dewasa ini seolah-olah adalah suatu kesatuan. Banyak konflik yang terjadi di
masyarakat yang timbul oleh berbagai macam perbedaan dalam keberagamaan. Perang
salib, Islamophobia dan terorisme, merupakan beberapa contoh kasus yang timbul
oleh clash antar agama. Maka tidak mengherankan apabila agama akhirnya
diidentikkan dengan kekerasan. Jadi dimanakah peran agama, yang digadang-gadang
sebagai Peace maker dalam kehidupan umat manusia, dalam mengatasi
konflik antar agama itu sendiri?
Banyak latar belakang yang
mendasari timbulnya konflik antar agama. Akan tetapi, terdapat kecenderungan
bahwasanya konflik tersebut hanya berada dalam wilayah eksoterik saja. Dan
dalam pembahasan singkat ini akan dibahas bagaimana hubungan antara agama dan
konflik.
Agama dan
Konflik
Pada dasarnya nilai eksoteris
dalam suatu agama tidak kalah penting dibandingkan dengan nilai esoteris. Hal
ini tidak lepas dari peran keduanya dalam menopang keberadaan suatu agama.
Keberadaan kedua hal diatas adalah saling menopang satu yang lainnya. Yang mana
apabila salah satu dari keduanya hilang, maka keberadaan suatu agama akan
terlihat pincang. Jadi bisa dikatakan bahwasanya nilai eksoteris dan nilai
esoteris merupakan satu kesatuan yang utuh.
Persoalan eksoterisme dalam
suatu agama senantiasa menimbulkan masalah yang polemik didalam kehidupan
agama. Yaitu, bagaimana menciptakan toleransi, yang dalam hal ini bukan sikap
masa bodoh ataupun acuh tak acuh, terhadap pluralitas eksistensi agama. Kita
tidak dapat memungkiri dengan berbagai macam konflik yang timbul dari
eksoterisme agama, yang merupakan buah dari pemahaman nilai esoterisme dalam
kehidupan manusia, secara langsung ataupun tidak langsung telah mewarnai
perjalanan panjang tiap agama. Yang dalam kelanjutannya, koflik tersebut tidak
hanya berkecamuk dalam ranah inter religious tapi juga intra religious.
Toleransi beragama mengandaikan
fondasi nilai bersama.[1]
Yang dalam hal ini, kita dapat melihat bahwasanya tidak semua nilai-nilai dalam
suatu agama dapat disamakan antara satu dengan yang lainya. Sehingga
penyelewangan terhadap nilai dalam suatu agama untuk mewujudkan persamaan
tersebut dapat menyebabkan konflik internal dalam suatu agama. Dan inilah yang
menjadi buah simalakama dalam persoalan eksoterisme agama. Karena agama
merupakan suatu paket lengkap yang telah tercipta sedemikian rupa. Sehingga,
tidaklah mungkin untuk mengganti setiap bagian dengan sekehendak hati.
Padahal, agama dalam fungsi
sosialnya mampu untuk memberikan kontribusi untuk mewujudkan suatu tatanan
masyarakat yang harmonis. Karena, antara agama dan integritas sosial mempunyai
hubungan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain
agama merupakan elemen yang kuat dalam integrasi masyarakat yang pluralistik
dan majemuk.[2] Maka, mengapa agama,
sebagai suatu elemen dalam mewujudkan integritas dalam masyarkat, tidak dapat
berintegrasi antara agama satu dengan yang lainnya?
Ketidak mampuan agama dalam berintegrasi
antara satu dengan yang lainnya, dan berbagai macam konflik yang timbul karena
persoalan eksoteris, pada dasarnya telah mencoreng nilai kemulian pada tiap
agama tersebut. Yaitu, agama adalah sumber keharmonisan dan perdamaian umat
manusia. Dan penodaan nilai inilah yang seharusnya kita kauatirkan. Karena, mau
ataupun tidak mau, pada perkembangan selanjutnya akan timbul suatu testimoni
bahwasanya agama adalah terror dan mimpi buruk umat manusia.
Ketakutan adalah mungkin juga
kata yang tepat untuk menggambarkan karakter hubungan antar agama pada masa
dewasa ini.[3] Bagaimana tidak, ketika
agama menyebar tidak sedikit yang berpijak pada kekerasan dan intimidasi.
Berdasarkan sejarah, dapat kita jumpai hanya segelintir orang yang memeluk
agama berdasarkan keinginan sendiri, atau kita bisa mengatakan bahwasanya
sebagian besar orang memeluk agama adalah kerana keadaan lingkungan atupun
keluarganya.[4]
Atas Nama
Tuhan
Segala macam perbincangan yang
berhubungan dengan Tuhan adalah perbincangan yang sulit.[5]
Bagaimana tidak, entitas Tuhan dalam tiap agama mempunyai kedudukan yang
krusial. Bahkan, boleh dikatakan bahwasanya Tuhan adalah sentral dari suatu
agama. Jadi, boleh dikatakan bahwasanya agama ada karena Tuhan itu ada.
Setiap agama mempunyai pandangan
yang berbeda tentang Tuhan. Namun demikian, setiap agama menjalankan segala
ajarannya berdasarkan, apa yang dalam tiga agama monoteis disebut dengan firman
Tuhan. Yang dalam perkembangan selanjutnya firman Tuhan inilah yang membentuk
sejarah kebudayaan kita.[6]
Tuhan dalam perkembangan
selanjutnya dimonopoli dan dijadikan tameng untuk mengakuisisi kebenaran dalam
agama masing-masing. Yang dalam hal ini, klaim “tidak ada keselamatan kecuali
dalam agama kami” seolah-olah menjadi trade mark tiap-tiap agama ketika
berhadapan dengan agama lain. Hingga pada akhirnya, sangatlah sulit untuk
menentukkan apakah benar ini merupakan keinginan Tuhan melalui manusia ataukah
keinginan manusia itu sendiri? Dan dari sini mulailah timbul sikap bermusuhan
dan saling membenci antar agama dan pada akhirnya berlanjut pada konflik
berdarah.
Semangat kebencian dan permusuhan
yang terjadi dalam perjumpaan antar agama seolah-olah memberikan gambaran
betapa mirisnya hubungan antar agama yang terjadi. Meskipun, disatu sisi dapat
terlihat sikap militan para pemeluk agama terhadap agamanya dan kesediaan
mereka berkurban demi membela agamanya. Akan tetapi, disisi lain semangat
tersebut telah mengkhianati misi suci agama itu sendiri, yaitu perdamaian.[7]
Memang tidak salah menunjukkan sikap miltansi terhadap agama, akan tetapi ada
baiknya jika sikap milatansi tersebut diletakkan di dalam wadah yang tepat.
Sebab, bukanya tidak mungkin bahwa sikap militansi tersebut nantinya justru
akan ditunggangi oleh oknum-oknum yang ingin memporak-porandakan agama.
Agama dan Dialog
Setelah kita membahas bagaimana
perjalanan agama senantiasa diwarnai konflik intern dan ekstern yang disebabkan
oleh Oleh karena itu, diperlukan suatu sarana yang dapat menjembatani dan mampu
berperan sebagai mediasi dalam menyelesaikan tiap konflik yang terjadi.
Sehingga diharapkan dengan penyelesaian konflik dapat mengoptimalkan peran
agama dalam Negara.
Agama dalam arti dan peranannya
dalam pembangunan Negara mempunyai kedudukan yang sangat penting. Karena,
pembangunan nasional tidak dapat berpegang pada masalah materiil saja tetapi
juga pembangunan spiritual. Sebagaimana yang ditetapkan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No.IV/MPR/1978, bahwasanya tujuan pembangunan Nasional
adalah “mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil
dan spiritual berdasarkan pancasila”.[8]
oleh karena itu tanpa adanya upaya dalam mediasi konflik agama, maka sulit
untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Dan dari sini jelaslah sudah,
bahwasanya konflik agama pada perkembangan selanjutnya tidak hanya menjadi
permasalahan agama itu sendiri tetapi juga permasalahan Negara bahkan menjadi
masalah internasional. Oleh karena itu diperlukan suatu mediasi dan dialog yang
nantinya dapat menghubungkan kesenjangan dan perbedaan antar agama. Menurut
Komaruddin Hidayat bahwasanya yang disebut dengan dialog antar agama adalah
dialog yang dilakukan secara terbuka dan penuh simpati, sehingga setiap peserta
dialog masing-masing berupaya memahami posisi peserta dialog yang lain secara
tepat, dan berupaya memandangnya dari dalam posisi mereka yang dipahami[9].
Penutup
Dari pembahasan singkat tersebut
diatas kita dapat melihat bagaimana konflik yang terjadi antar agama telah
menyebabkan retaknya hubungan antar agama. Dan diharapkan dengan adanya dialog
antar agama dapat mengatasi konflik tersebut, sehingga peran agama sebagai peace
maker dapat terwujud.
Daftar
Pustaka
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, 2007)
Hidayat, Komaruddin [et.al.], Agama Di Tengah Kemelut, (Jakarta:
Mediacita, 2001)
Hofman, Murad W., Bangkitnya Agama: Berislam di Alaf Baru, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2003)
Monroe,
Charles, World Religions: An Introduction, (New York: Prometheus Books,
1995)
[1] Hidayat,
Komaruddin [et.al.], Agama Masa Depan, (Jakarta: Gramedia, 2003), P.131
[2] Hidayat,
Komaruddin [et.al.], Agama Di Tengah Kemelut, (Jakarta: Mediacita,
2001), P.58
[3] Hofman, Murad
W., Bangkitnya Agama: Berislam di Alaf Baru, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2003), P. 71
[4] Monroe,
Charles, World Religions: An Introduction, (New York: Prometheus Books,
1995), P. 15
[5] Armstrong,
Karen, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, 2007), P.25
[6] Ibid
[7] Hidayat,
Komaruddin,Op.cit., P.
[8]
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup
Beragama, (Departemen Agama, 1980), P.8
[9]
Hidyat, Komaruddin,
0 komentar:
Posting Komentar