Konsep Ketuhanan Imam Abu Hanifah

|


Dalam sejarah perkembangan agama dan filsafat. Pengakuan akan adanya Tuhan sebagai sebuah realitas mutlak senantiasa menjadi titik sentral. Agama tanpa kepercayaan kepada Tuhan tidak dapat disebut dengan agama. Begitu juga filsafat, yang tidak dapat dipungkiri lahir dari pemikiran manusia, menjadikan metafisika sebagai objek pembahasan yang pertama kali. Yaitu ketika manusia mulai mempertanyakan tentang asal usul alam dan segala sesuatu yang ada.[1]
Di dalam agama Islam pembahasan tentang keilmuan senantiasa dilandasi dengan pandangan hidup yang berlandakan Tauhid. Para ulama’ Islam senantiasa menjadikan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai landasan dalam menyelesaikan persoalan dan masalah yang dihadapi. Dan dari sana lahirlah tradisi keilmuan di dalam Islam.
Dan pada makalah yang singkat ini akan diuraikan tentang pemikiran Al Imam Abu Hanifah dan beliau dikenal sebagai salah satu dari empat imam madzhab. Meskipun pembahasannya lebih menonjol pada bidang fiqh, namun ia juga sedikit menyinggung permasalahan aqidah, yang olehnya dibahas di dalam kitabnya Al Fiqhul Akbar.

Wajibul wujud

|


Wajibul Wujud merujuk pada dzat Tuhan yang mana keberadaanya adalah absolute dan tidak membutuhkan yang lain untuk menopang keberadaan-Nya. Akan tetapi, keberadaan-Nya dibutuhkan oleh yang lainnya.[1] Jadi, eksistensi dari Tuhan itu absolut, artinya jika Tuhan itu tidak ada, maka segala yang ada di alam ini juga tidak ada. Sedangkan istilah Mumkinul Wujud merujuk kepada segala sesuatu yang dibentuk oleh sesuatu yang lain.[2] Sesuatu dikatakan mumkinul wujud menandakan bahwasanya eksistensinya itu dalam keadaan antara ada dan tiada. Jadi, ia dikatakan ada ketika diadakan oleh sesuatu yang lain.
Dan dari sini kita bisa melihat bahwasanya sesuatu apabila dikatakan keberadaanya itu karena diadakan sesuatu yang lain maka, keberadaanya adalah tergantung yang mengadakannya, dengan kata lain ia senantiasa mengalami perubahan, perubahan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi substansinya, perubahan substansi inilah yang menyebabkan keadaan mumkinul wujud tidak kekal. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi makhluk untuk menyamai Tuhan dalam esesnsi dan eksistensi.


[1] Hanafi, ‘Ali al Qori, Syarhu Kitab Al Fiqhul Akbar, (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1995), P.31
[2] Ibid, P.32

Ilmu Kalam

|


Secara bahasa, kata kalam berarti pembicaraan. Ilmu kalam berarti ilmu diantara disiplin ilmu syariah yang membahas tentang dzat Tuhan dan sifat-Nya, dan perkara-perkara yang berhubungan dengan makhluk dari awal penciptaan hingga kiamat sesuai dengan ajaran agama Islam.[1]
Ilmu kalam berakar dari perdebatan teologis dan politis di kalangan umat Islam mengenai masalah-masalah metafisik ketuhanan dan makhluk. Dan perdebatan ini muncul karena faktor internal dan perkembangan-perkembangan spesifik yang ada dalam komunitas pada saat itu, baik yang bersifat religious maupun politis. Dari kecenderungan-kecenderungan dan manifestasi-manifestasi teologi awal inilah muncul madzhab teologi sistematis yang pertama, yang disebut dengan Mu’tazillah[2]

Creatio ex Nihilo

|


Secara bahasa creatio ex nihilo berasal dari bahasa latin yang berarti penciptaan dari ketiadaan.[1] Dalam istilah astronomi teori ini dikenal dengan istilah teori big-bang (dentuman besar). Dalam teori ini, dinyatakan bahwa semua materi di alam semesta ini terpadatkan dalam massa satu titik yang mempunyai “Volume Nol” karena gaya gravitasinya yang sangat besar. Alam semesta ini muncul dari hasil ledakan massa yang mempunyai volume nol ini.
Untuk mengatakan bahwa sesuatu mempunyai volume nol adalah sama saja dengan mengatakan sesuatu itu “tidak ada”. Seluruh alam semesta diciptakan dari ketiadaan ini. Dan lebih jauh lagi, alam semesta mempunyai permulaan.[2] Dan sesuatu apabila ia diciptakan dari ketiadaan maka ia akan kembali tiada. Begitu juga dengan alam semesta ini ketika energy dan gaya yang timbul dari ledakan besar tersebut habis maka ia akan runtuh. Jadi dengan kata lain, keberadaan alam ini murni tidak kekal.


[1] Bagus, Loren, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), P.623
[2] Yahya, Harun, Pustaka Sains Populer Islami: Penciptaan Alam Semesta, (Bandung: Dzikra, 2004), P. 10

Peripatetik

|


Peripatetik sering disebut dengan logika formal yang menuntut kebenaran proposisi.[1] Artinya untuk mencapai suatu kebenaran diperlukan kesinambungan kausalitas terhadap setiap fenomena yang terjadi. Metode ini berawal dari filsafat yunani, khususnya filsafat Plato dan Aristoteles.[2]Mengenai konsep alam, perspektif peripatetik berupaya untuk memadukan kosmos ke dalam sebuah system rasional yang luas. Alam dipandang sebagai sebuah wilayah yang harus dianalisis dan dipahami. Pengetahuannya dicapai melalui metode rasiosinasi itu sendiri yang instrument utamanya adalah logika. Oleh karena itu, madzhab ini di dalam islam diidentikkan dengan rasionalisme, meskipun rasionalisme dalam Islam tidak pernah terlepas dari wahyu. Observasi dan eksperimen, yang berada di jantung empirisme modern bukanlah aspek khas madzhab ini.[3]


[1]Ziai, Hosen, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmah al-Isyraq, (Georgia: Brown University, 1990), P. 136
[2] Bakar, osman, Tauhid &Sains: esai-esai tentang sejarah dan filsafat sains dalam Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), P.154
[3] Ibid, P.155

 

©2009 Me and My Mind | Template Blue by TNB