Konsep Ketuhanan Imam Abu Hanifah

|


Dalam sejarah perkembangan agama dan filsafat. Pengakuan akan adanya Tuhan sebagai sebuah realitas mutlak senantiasa menjadi titik sentral. Agama tanpa kepercayaan kepada Tuhan tidak dapat disebut dengan agama. Begitu juga filsafat, yang tidak dapat dipungkiri lahir dari pemikiran manusia, menjadikan metafisika sebagai objek pembahasan yang pertama kali. Yaitu ketika manusia mulai mempertanyakan tentang asal usul alam dan segala sesuatu yang ada.[1]
Di dalam agama Islam pembahasan tentang keilmuan senantiasa dilandasi dengan pandangan hidup yang berlandakan Tauhid. Para ulama’ Islam senantiasa menjadikan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai landasan dalam menyelesaikan persoalan dan masalah yang dihadapi. Dan dari sana lahirlah tradisi keilmuan di dalam Islam.
Dan pada makalah yang singkat ini akan diuraikan tentang pemikiran Al Imam Abu Hanifah dan beliau dikenal sebagai salah satu dari empat imam madzhab. Meskipun pembahasannya lebih menonjol pada bidang fiqh, namun ia juga sedikit menyinggung permasalahan aqidah, yang olehnya dibahas di dalam kitabnya Al Fiqhul Akbar.


Riwayat Hidup
Beliau bernama: An-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi, At-Taimi dari hamba sahayanya, kunyah beliau: Abu Hanifah. Beliau berjuluk: Ahli fikihnya wilayah Irak, imamnya madzhab hanafi, dan salah satu dari empat imamnya Ahlussunnah. Beliau lahir dan tumbuh dewasa di daerah Kufah. Ketika muda, beliau belajar fikih kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ari. Beliau banyak mendengar dan meriwayatkan dari para ulama generasi tabi’in, seperti: Atho’ bin Abu Robah, Nafi’ budaknya Ibnu Umar, Asy-Sya’bi, az-Zuhri dan yang lainnya.[2]
Dalam bidang fiqh beliau terkenal sebagai fuqaha yang bermadzhab rasional, hal ini tidak lepas dari metode penalaran[3] yang digunakan beliau dalam mengambil hukum. Keberanian beliau dalam menggunakan metode ini tidak lepas dari keadaan beliau yang tinggal di Kuffah. Kota ini terletak sangat jauh dari Madinah, yang dikenal sebagai tempat beredarnya Sunnah. [4] Selain dari pada itu, beliau juga termasuk orang yang super hati-hati dalam menerima hadits, sangat pemilih dengan hadits dan para perowinya, hal itu disebabkan banyaknya hadits-hadits palsu dan dhoif yang tersebar di negerinya pada masa hidupnya.[5]

Konsep Tuhan
1.      Esensi dan Eksistensi Tuhan
Pandangan Abu Hanifah tentang konsep Tuhan tidak jauh berbeda dengan pandangan Mutakallim yang berfaham Ahlussunnah, meskipun dalam masalah fiqh beliau banyak berpegang pada penalaran. Para ulama Ahlussunnah ini banyak berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah di dalam menyelesaikan masalah-masalah teologi yang dihadapi, kemudian membawa argumen-argumen rasional kedalamnya.[6] Dan Abu Hanifah, sebagai salah ulama Ahlussunnah, dalam menjelaskan konsep ketuhanannya banyak menggunakan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan beliau sangat sedikit dalam menggunakan dalil rasional. Hal ini tidak lepas dari kesadaran dan pengakuan akan batas-batas kemampuan kerja akal manusia dalam bidang metafisika.[7]
Di dalam menjelaskan esensi dari Tuhan, Abu Hanifah menitikberatkan pada pemahaman akan makna Tauhid (keesaan Tuhan). Dan Abu Hanifah Di dalam penjelasannya tentang konsep keesaan Tuhan menyatakan, bahwasanya Tuhan itu esa. Hakikat keesaan Tuhan itu tidak hanya terbatas pada keesaan jumlah saja.[8] Akan tetapi, keesaan Tuhan itu juga meliputi keesaan pada dzat dan sifatnya.[9]
Esensi dari Tuhan berbeda dari makhluk, dan tidak mungkin bagi makhluk untuk menyamai Tuhan di dalam esensi-Nya.[10] Hal ini dikarenakan Tuhan itu bersifat absolut (qadim) baik pada esensi dan Eksistensi-Nya. Sedangkan makhluk itu bersifat temporal (Muhdats),[11] dan segala sesuatu bersifat temporal senantiasa memiliki jism (bentuk), jauhar (Substansi) dan ‘ardl (Aksidensi). Maka, apabila esensi dari Tuhan itu seperti makhluk, niscaya Ia bersifat temporal dan membutuhkan jism, jauhar dan ‘ardl untuk menopang keberadaan-Nya.[12] Dan sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya keberadaan ketiga materi tersebut senatiasa membutuhkan ruang dan waktu untuk menopangnya.[13] Maka, mustahil bagi Tuhan untuk terikat dengan ruang dan waktu, karena keduanya adalah ciptaan.
Sementara itu, di dalam menjelaskan tentang eksistensi Tuhan Abu Hanifah menggunakan istilah Wajibul wujud dan Mumkinul Wujud. Wajibul Wujud merujuk pada dzat Tuhan yang mana keberadaanya adalah absolute dan tidak membutuhkan yang lain untuk menopang keberadaan-Nya. Akan tetapi, keberadaan-Nya dibutuhkan oleh yang lainnya.[14] Jadi, eksistensi dari Tuhan itu absolut, artinya jika Tuhan itu tidak ada, maka segala yang ada di alam ini juga tidak ada. Sedangkan istilah Mumkinul Wujud merujuk kepada segala sesuatu yang dibentuk oleh sesuatu yang lain.[15] Sesuatu dikatakan mumkinul wujud menandakan bahwasanya eksistensinya itu dalam keadaan antara ada dan tiada. Jadi, ia dikatakan ada ketika diadakan oleh sesuatu yang lain.
Dan dari sini kita bisa melihat bahwasanya sesuatu apabila dikatakan keberadaanya itu karena diadakan sesuatu yang lain maka, keberadaanya adalah tergantung yang mengadakannya, dengan kata lain ia senantiasa mengalami perubahan, perubahan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi substansinya, perubahan substansi inilah yang menyebabkan keadaan mumkinul wujud tidak kekal. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi makhluk untuk menyamai Tuhan dalam esesnsi dan eksistensi, sebagaimana yang dikatakan oleh imam Abu Hanifah:“Laa Yasybihu syaian minal asyyaa min kholqihi wa laa yusbihuhu syaiun min kholqihi”.[16]

2.      Sifat Tuhan
Pengertian sifat menurut sebagian besar ulama Mutakallim adalah merujuk pada sesuatu yang eksis bersama dzat.[17] Dari sini timbul pertentangan di antara Mutakallim tentang keadaan sifat itu. Apakah ia merupakan bagian dari dzat ataukah ia bukan bagian dari dzat tersebut?.
Sifat Tuhan menurut Abu Hanifah adalah bagian dari dzat-Nya. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwasanya sifat Tuhan itu bukanlah sesuatu yang ditambahkan pada dzat. Akan tetapi, sifat itu adalah sesuatu yang mana Allah mensifati dirinya didalam Al Qur’an tanpa ada pertanyaan bagaimana wujudnya.[18] Pendapatnya ini sangat berlawanan terhadap golongan yang mensifatkan Allah seperti makhluk sebagaimana yang dilakukan oleh penganut aliran Hasywiyyah dan Mujassimah yang berpendapat bahwasanya esensi dari Tuhan adalah seperti makhluk, yaitu mempunyai Jism. Mereka berpendapat demikian karena mereka melihat bahwasanya Fi’il (action) membutuhkan suatu Jism dalam menjalankanya, dan Tuhan di dalam menciptakan, mengatur dan lainnya adalah berada dalam posisi fail (pelaku). Oleh karena itu, Tuhan memiliki Jism.[19]
Pada dasarnya pendapat yang dianut oleh para penganut Hasywiyyah dan Mujassimah tersebut justru menyebabkan Tuhan kehilangan sifat keilahian-Nya. Karena, setiap Jism itu mempunyai bentuk, dan bentuk dalam setiap tindakan akan menimbulkan gerakan, dan gerakan itu membutuhkan ruang dan waktu. Maka, apabila Tuhan memiliki Jism Maka Tuhan itu terikat pada ruang dan waktu.
Abu Hanifah melihat bahwasanya kesalahan penafsiran dari kedua golongan tersebut adalah terletak pada pemahaman tentang hubungan antara esensi dan aksidensi Tuhan. Oleh karena itu, dalam menjelaskan hubungan antara esensi Tuhan dengan sifat-Nya. Abu Hanifah membagi sifat Tuhan menjadi dua:[20]
1.      Ash Shifat adz Dzatiyah
Sifat ini adalah sifat yang keberdaannya eternal bersama dengan dzat Tuhan. Sifat ini menurut Abu Hanifah ada 7, yaitu:[21]
a.      Al Hayah, sifat ini menunjukkan kepastian bahwasanya yang disifati adalah begitu adanya, artinya bahwasanya Allah itu hidup dengan sifat ini yang kekal bersama diri-Nya.[22]
b.      Al Qudrah, sifat ini merujuk kepada kuasa Tuhan atas segala sesuatu, kekuasaan ini bersifat absolut bukan temporal, sebagaimana Tuhan menciptakan segala sesuatu dan keteraturan didalamnya ataupun menghilangkan dan memusnahkannya.[23]
c.       Al ‘Ilm, sifat ini merujuk kepada pengetahuan Tuhan atas segala sesuatu. Sifat ini tidak hanya terbatas pada kulliyat (general) saja, akan tetapi ia mencakup segala sesuatu baik itu yang bersifat nampak ataupun tidak tampak, fisik atupun metafisik, apa yang ada dan tidak ada, dan apa yang mungkin dan yang mustahil. Dan sifat ini juga bersifat absolut, artinya bahwasanya sifat Al ‘Ilm tidak terbatas pada setelah penciptaan saja. Akan tetapi, ia juga meliputi sebelum penciptaan. Karena, tidak mungkin menciptakan segala sesuatu tanpa adanya pengetahuan sebelumnya.[24]
d.      As Sam’u, yaitu bahwasanya Tuhan itu mengetahui segala suara baik itu yang terang maupun yang samar. Dan sifat dari As Sam’u ini tidak seperti apa yang dimiliki oleh makhluk.[25]
e.        Al Bashar, yaitu bahwasanya Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang nampak dan tersembunyi. Sebagaiman As Sam’u sifat ini tidak seperti apa yang dimiliki makhluk dan kedua sifat ini adalah termasuk sifat kesempurnaan Tuhan. [26]
f.         Al Iradah, sifat ini meliputi ketentuan, dan perintah Tuhan di alam ini. sifat ini terdiri dari dua macam:[27].
·         Iradah Kauniyah, yaitu ketentuan Tuhan atas yang terjadi di Alam ini secara umum.
·         Iradah Diniyyah, yaitu segala ketentuan yang berhubungan dengan perintah Tuhan kepada makhluk untuk menjalankan apa yang diperintahkan-Nya.
g.      Al Kalam. Termasuk dari esensi Tuhan bahwasanya, Tuhan berfirman dengan sifat kalam-Nya. Sifat dari kalam tersebut adalah absolut. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Tuhan sebelumnya.[28]

2.      Ash Shifat al Fi’liyah
Sedangkan sifat fi’liyah adalah sifat yang mana keberadaannya tergantung dari aksidensi tuhan, contoh: sifat Tuhan yang maha pencipta tidak akan pernah ada jika Tuhan tidak mencipta, begitu juga sifat Tuhan yang lainnya seperti: maha memberi rezeki, pengasih dan lain-lainnya.
Abu Hanifah memahami bahwasanya sifat dzatiah Tuhan itu berada dalam esensi Tuhan. Sedangkan, sifat fi’liyah yang bersifat aksidensi itu disematkan pada diri Tuhan dan bukan esensi dari Tuhan. Akan tetapi, Abu Hanifah juga tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan perlunya intepretasi terhadap ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat Jasmani, sebagaimana yang dianut oleh kaum Mu’tazilah dan Rafidlah yang juga menafikkan beberapa sifat Tuhan. Menurut kedua golongan tersebut, bahwsanya karena Tuhan bersifat immateri, tidaklah dapt dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi intepretasi lain.[29]
 Namun, menurut Abu Hanifah bahwasanya apabila kita menafikkan sifat Tuhan, maka sesungguhnya secara tidak langsung kita telah menafikkan imanensi Tuhan. Karena sifat fi’liyah tersebut merupakan manifestasi dari keberadaan wujud Tuhan di alam ini. Yaitu, sebagai misal, ketika Tuhan menciptakan alam ini secara tidak langsung Ia telah menunjukkan keberadaan-Nya[30] Dengan kata lain, nampaknya Abu Hanifah berusaha untuk mengatakan bahwasanya Tuhan transenden di dalam sifat dzatiyah-Nya dan imanen di dalam sifat fi’liyah-Nya.

Penutup
Dari pemaparan singkat diatas dapat kita ambil kesimpulan, bahwasanya Abu Hanifah melandaskan konsep ketuhanannya sebagaimana yang dianut oleh Ahlussunnah. Dalam setiap penjelasannya ia mendasarkan pada Al Qur’an dan Hadits. Bagi Abu Hanifah, konsep ketuhanan harus dijelaskan berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits. Karena, ia meyakini bahwasanya di dalam keduanya terdapat segala keterangan yang dibutuhkan mengenai berbagai konsep kehidupan. Dan hal ini, membuktikan bahwasanya tradisi keilmuan di dalam agama Islam telah lama berkembang dengan baik, bahkan masalah teologi tidak hanya dibahas oleh para mutakalim saja, akan tetapi para fuqoha pun tidak mau ketinggalan dalam masalah ini.
  
Daftar  Pustaka
Ajami, Abul Yazid abu zaid, Al Fuqaha wa Buhutsul ‘Aqidah al Islamiyyah, (Kairo: Darul Hidayah, 1985)
Aman, Muhammad, Ash Shifat al Ilahiyah fil kitab was Sunnah an Nabawiyyah: fi Dlouil Itsbat wat Tanzih, (Madinah: Al Majlis Al ‘Ilmi Al Jamiah al Islamiyyah, 1408H)
Bahjat, Ahmad, Mengenal Allah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001)
Baihaqi, Abu Bakar Ahmad, Al I’tiqad ‘Ala Madzhabis Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Kairo: Darul Tsaqofah, 1984)
Bakar, Osman, Tauhid & Sains: Esai-Esai Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004)
Bazdawi, Abul yusr Muhammad, Kitab Ushuluddin, (Kairo: Darul Hayat al kutub al ‘Arabiyyah),
Hanifah, Abu, Fiqhul Akbar, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 1995)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992)
Hanafi, ‘Ali al Qori, Syarhu Kitab Al Fiqhul Akbar, (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1995),
Khofaji, Mahmud Ahmad, Fil ‘Aqidah al Islamiyyah Bainas Salaf wal Mu’tazilah: Tahlil wa Naqdi, (Kairo: Darul Kutub, 1979)
Khumais, Muhammad bin Abdur Rahman, I’tiqad al Aimmah Al Arba’ah: Abi Hanifah, wa Malik, wa Syafi’I, wa Ahmad, (Riyadl: Darul ‘Ishmah, 1992),
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia),
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawwuf, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1998),
Syafi’I, Hasan Mahmud, An Nushus al Kalamiyyah, (Ponorogo: Muqoror Likuliyyah Ushuluddin, 2000),
Yahya, Harun, Pustaka Sains Populer Islami: Kesempurnaan Penciptaan Atom, (Bandung: Dzikra, 2004),
Yahya, Harun, Pustaka Sains Populer Islami: Penciptaan Alam Semesta, (Bandung: Dzikra, 2004),
Yasu’i, Abul Laits, Al Munjid: Fil Lughah wal A’lam, (Beirut: Darul Masyriq, 1973)
Zarkasy, Amal Fathullah, ‘Aqidatut Tauhid ‘Indal Falasifah wal Mutakallimin wash Shufiyyah, (Ponorogo: Percetakan Jamiah Darussalam, 2008)



[1] Solomon, Robert C. Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), P.33
[2] ‘Ajami, Abul Yazid abu zaid, Al Fuqaha wa Buhutsul ‘Aqidah al Islamiyyah, (Kairo: Darul Hidayah, 1985), P.77
[3] Penalaran atau pendapat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan nama Al-Ra’y, Al-Qiyas, dan Istihsan.
[4] Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawwuf, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1998), P.57
[5] ‘Ajami, Abul Yazid abu zaid, Op.Cit., P.77
[6] Nata, Abuddin, P.62
[7] Hanafi, Ahmad, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), P.141
[8] Hanifah, Abu, Fiqhul Akbar, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 1995), P.323
[9] Hanafi, ‘Ali al Qori, Syarhu Kitab Al Fiqhul Akbar, (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1995), P.30
[10] Hanifah, Abu, Op.Cit., P. 323
[11] Hanafi, ‘Ali al Qori, Op.Cit. P.31
[12]Syafi’I, Hasan Mahmud, An Nushus al Kalamiyyah, (Ponorogo: Muqoror Likuliyyah Ushuluddin, 2000), P.
[13] Ibid, P.303
[14] Hanafi, ‘Ali al Qori, Op.Cit., P.31
[15] Ibid, P.32
[16] Hanifah, Abu, Op.Cit., P.323
[17] Aman, Muhammad, Ash Shifat al Ilahiyah fil kitab was Sunnah an Nabawiyyah: fi Dlouil Itsbat wat Tanzih, (Madinah: Al Majlis Al ‘Ilmi Al Jamiah al Islamiyyah, 1408H), P.84
[18] Hanafi, ‘Ali al Qori, Op.Cit. P.72
[19] Syafi’I, Hasan Mahmud, Op.Cit., P.299
[20] Hanifah, Abu, Op.Cit., P.323
[21] Ibid, P.323
[22] Hanafi, ‘Ali al Qori, Op.Cit. P.33
[23] Ibid, P.33
[24] Khofaji, Mahmud Ahmad, Fil ‘Aqidah al Islamiyyah Bainas Salaf wal Mu’tazilah: Tahlil wa Naqdi, (Kairo: Darul Kutub, 1979), P.287
[25] Hanafi, ‘Ali al Qori, Op.Cit. P.38
[26] Ibid, P.39
[27] Ibid, P.292
[28] Khumais, Muhammad bin Abdur Rahman, I’tiqad al Aimmah Al Arba’ah: Abi Hanifah, wa Malik, wa Syafi’I, wa Ahmad, (Riyadl: Darul ‘Ishmah, 1992), P.13
[29] Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia), P.137
[30] Hanafi, ‘Ali al Qori, Op.Cit. P.42

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 Me and My Mind | Template Blue by TNB