Filsafat Agama Thomas Aquinas

|



Paradigma berpikir Barat modern sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang bersifat logis. Mereka hanya mengakui apa yang ditangkap dan dipersepsikan oleh panca indera saja dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat metafisika. Bahkan para ilmuwan barat mengklaim bahwasanya kemajuan mereka dalam bidang sains dan teknologi tidak lepas dari upaya mereka dalam melepaskan epistimologi dari teologi.
Jauh sebelum munculnya pemikiran-pemikiran logis tersebut. Salah seorang filosof barat yang sangat religius berupaya menentang pemikiran-pemikiran yang menyangkal metafisika, yang pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh pemikiran neo-platonik. Dia  dikenal dengan nama Thomas Aquinas (1224-1274 M), tokoh puncak Skolastisisme. Seorang pendeta Dominikan yang dianggap gereja sebagai salah satu dari para Doktor Gereja.


Biografi Singkat Thomas Aquinas
Thomas Aquinas atau Thomas dari Aquino (1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca, dekat Napels, Italia. Lahir dari suatu keluarga bangsawan. Semula ia belajar di Napels, kemudian di Paris, menjadi murid Albertus Agung, lalu di Koln, dan kemudian di Paris lagi. Sejak tahun 1252 ia mengajar di Paris dan Italia.[1] Aquinas seorang ahli teologi Katolik dan filosof. Ia menerima gelar Doktor dalam teologi dari Universitas Paris dan mengajar di sana sampai tahun 1259. Kemudian selama 10 tahun ia mengajar di biara-biara Dominican di sekitar Roma kemudian kembali ke Paris, mengajar dan menulis. Ia mempelajari karya-karya besar Aristoteles secara mendalam dan ikut serta dalam pelbagai perdebatan.
Ketika Thomas meninggal dunia pada usia 49 tahun (tanggal 7 Maret 1274), ia meninggalkan banyak karya tulisan. Suatu edisi modern yang mengumpulkan semua karyanya terdiri dari 34 jilid.  Karya filosofisnya yang paling penting dan paling berpengaruh adalah multivolume Summa Contra Gentiles (Sebuah Rangkuman Melawan Orang Non-Yahudi) dan karyanya yang tidak lengkap Summa Theologica (Rangkuman Teologi). Summa Theologica adalah penyajian teologi secara tematik, yang ditulis bagi calon biarawan dalam kependetaan, tetapi juga merupakan rangkuman definitive filsafat katolik. Target Summa Contra Gentiles adalah kecenderungan naturalistic yang dilihatnya dengan jelas terdapat pada filsuf-filsuf Arab tertentu.[2]

Beberapa Pemikiran Filsafat Thomas Aquinas
a.      Thomisme (Sistem Thomas)
Thomisme adalah pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Aquinas. Sebagaimana umumnya ajaran Skolastik, Thomas Aquinas berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendamaikan pemikiran filsafat yang sekuler dari Yunani dengan agama Nasrani yang dianutnya. Oleh Thomas dibedakan dua tingkat pengetahuan manusia. Pengetahuan tentang alam yang dikenal melalui akal dan pengetahuan tentang rahasia Tuhan yang diterima oleh manusia lewat wahyu atau kitab suci.
Ia menandaskan bahwa akal dan wahyu masing-masing mempunyai bidangnya sendiri. Akal adalah suatu alat yang tepat untuk mempelajari  kebenaran dunia fisik. Akan tetapi, wahyu berkenan dengan dunia metafisik, dan dunia fisik bukanlah totalitas realitas. Tempat sejati dunia fisik dapat diketahui hanya dengan menunjuk pada dunia metafisik.[3]
Pengertian-pengertian metafisis sebagian besar dipinjamnya dari Aristoteles, seperti: pengertian materi dan bentuk, potensi dan aktus, bakat dan perealisasian. Materi adalah asal muasal munculnya sesuatu. Atau dapat juga disebut subyek pertama sebagai asal munculnya sesuatu. Bentuk terkandung dalam materi, umpamanya asal muasal buah mangga: Buah Mangga berasal dari biji mangga, lalu menjadi pohon mangga. Biji mangga adalah materinya atau potensinya, sedang pohon mangga yang telah tumbuh itu adalah bentuknya, atau aktusnya. Pada pohon mangga itu kita mengamati bahwa yang telah terkandung di dalam biji sebagai materi telah direalisasikan sepenuhnya.[4]
Dalam sistemnya tersebut, Aquinas berupaya menjelaskan hubungan antara sesuatu yang bersifat fisik dan metafisik. Bahwasanya, yang satu tidak bisa lepas dari yang lainnya. Dengan kata lain, ia berupaya menjelaskan sesuatu yang bersifat metafisik dengan cara yang rasional ataupun memahamkan bahwasanya apa saja yang bersifat fisik sesungguhnya dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat metafisik.

b.      Essentia dan Existentia (Hakekat dan Eksistensi)
Ajaran Thomas Aquinas yang terkenal diantaranya tentang essentia dan existentia, yang dikaitkannya dengan Tuhan. Tuhan adalah aktus yang paling umum, actus purus (aktus murni), artinya Tuhan sempurna keberadaannya, tidak berkembang, karena pada Tuhan tiada potensi. Di dalam Tuhan segala sesuatu telah sampai pada perealisasiannya yang sempurna. Tuhan adalah aktualitas semata-mata, oleh karena itu pada Tuhan hakikat (essentia) dan keberadaan (existentia) ada sama dan satu (identik). Hal ini tidak berlaku bagi makhluk. Keberadaan makhluk adalah sesuatu yang ditambahkan pada hakikatnya.[5]
Dunia fisik menurut Aquinas tidak hanya sebagai hal yang nyata dan dapat diketahui. Akan tetapi, ia juga adalah suatu refleksi terhadap hukum Tuhan. Dengan mengenali struktur dunia pengalaman sehari-hari yang dapat dipahami dengan akal, manusia juga memperoleh wawasan terhadap pikiran Tuhan.[6] Dengan memperhatikan segala apa yang ada pada dunia fisik ini secara tidak langsung telah menuntun akal budi terhadap pengetahuan tentang Tuhan.
Filsafat Thomas erat kaitannya dengan teologia. Sekalipun demikian pada dasarnya filsafatnya dapat dipandang sebagai suatu filsafat kodrati yang murni. Sebab, ia tahu benar akan tuntuan penelitian kebenaran, dan secara jujur mengakui bahwa pengetahuan insani dapat diandalkan juga. Dia membela hak-hak akal dan mempertahankan kebebasan akal dalam bidangnya sendiri. Wahyu menurutnya berwibawa juga dalam bidangnya sendiri. Disamping memberi kebenaran fisik, wahyu juga memberi kebenaran yang metafisik, memberi misteri atau hal-hal yang bersifat rahasia, seperti: kebenaran tentang trinitas, inkarnasi, sakramen dll. Untuk ini diperlukan iman. Iman adalah suatu cara tertentu guna mencapai pengetahuan, yaitu pengetahuan yang mengatasi akal, pengetahuan yang tidak dapat ditembus akal. Iman adalah suatu penerimaan atas dasar wibawa Tuhan. Sekalipun misteri mengatasi akal, namun tidak bertentangan dengan akal, tidak anti akal. Sekalipun akal tidak dapat menemukan misteri, akan tetapi akal dapat meratakan jalan menuju kepada misteri (prae ambula fidei). Dengan demikian, Thomas Aquinas menyimpulkan bahwa ada dua macam pengetahuan yang tidak saling bertentangan, tetapi berdiri sendiri-sendiri secara berdampingan, yaitu: pengetahuan fisik, yang berpangkal pada akal yang terang serta memiliki hal-hal yang bersifat insani umum sebagai sasarannya, dan pengetahuan iman, yang berpangkal dari wahyu dan memiliki kebenaran ilahi, yang ada di dalam Kitab Suci, sebagai sasarannya.[7]

c.       Argumen kosmologi
Thomas juga mengajarkan apa yang disebut theologia naturalis, yang mengajarkan bahwa manusia dengan pertolongan akalnya dapat mengenal Tuhan, meskipun pengetahuan tentang Tuhan yang diperolehnya dengan akal itu tidak jelas dan tidak menyelamatkan. Melalui akalnya manusia dapat mengetahui bahwa Tuhan ada, dan juga tahu beberapa sifat Tuhan. Dengan akalnya manusia dapat mengenal Tuhan, setelah ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia, alam semesta dan makhluk-Nya. Thomas berpendapat, bahwa pembuktian tentang adanya Tuhan hanya dapat dilakukan secara a posteriori. Dalam hal ini Thomas memberikan 5 bukti, yaitu[8]:
1.      Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada Penggerak Pertama, yaitu Tuhan. Menurut Thomas, apa yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Seandainya sesuatu yang digerakkan itu menggerakkan dirinya sendiri, maka yang menggerakkan diri sendiri itu harus juga digerakkan oleh sesuatu yang lain, sedang yang menggerakkan ini juga harus digerakkan oleh sesuatu yang lain lagi. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama. Penggerak Pertama ini adalah Tuhan.
2.      Di dalam dunia yang diamati ini terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdayaguna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena sekiranya ada, hal yang menghasilkan dirinya itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin, sebab yang berdaya guna, yang menghasilkan sesuatu yang lain itu, juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sebab berdayaguna yang pertama. Inilah Tuhan.
3.      Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”. Oleh karena itu semuanya itu tidak berada sendiri, tetapi diadakan, dan oleh karena itu semuanya itu juga dapat rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada”, atau semuanya itu “tidak ada”. Tentu tidak mungkin semuanya itu senantiasa “ada”. Sebab apa yang mungkin “tidak ada” pada suatu waktu memang tidak ada. Karena segala sesuatu memang mungkin “tidak ada”, maka pada suatu waktu mungkin saja tidak ada sesuatu. Jikalau pengandaian ini benar, maka sekarang juga mungkin tidak ada sesuatu. Padahal apa yang tidak ada hanya dapat dimulai berada jikalau diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Jikalau segala sesuatu hanya mewujudkan kemungkinan saja, tentu harus ada sesuatu yang “adanya” mewujudkan suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan, “adanya” itu dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain, atau berada sendiri. Seandainya sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mungkin ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah Tuhan.
4.      Diantara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar, dan lain sebagainya. Apa yang disebut kurang baik, atau lebih baik, itu tentu disesuaikan dengan sesuatu yang menyerupainya, yang dipakai sebagai ukuran. Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Jadi, jikalau ada yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik, semuanya mengharuskan adanya yang terbaik. Demikian juga halnya dengan yang kurang benar, yang benar dan yang lebih benar dan lain sebagainya. Dari ini semua dapat disimpulkan, bahwa harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia, dan sebagainya. Yang menyebabkan semuanya itu adalah Tuhan.
5.      Segala sesuatu yang tidak berakal, misalnya: tubuh fisik, berbuat menuju kepada tujuannya. Hal ini tampak dari caranya segala sesuatu yang tidak berakal tadi berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang terbaik. Dari situ terlihat bahwa perbuatan tubuh bukanlah perbuatan kebetulan, semuanya diatur oleh suatu kekuatan, semuanya itu menuju pada “akhir”. Jika tidak diarahkan oleh suatu “tokoh yang berakal”, maka semua perbuatan tubuh tidak mungkin memperoleh ilmu pengetahuan. Kekuatan yang mengarahkan itu adalah Tuhan.
Bukti-bukti di atas memang dapat menunjukkan bahwa ada pencipta yang menyebabkan adanya segala sesuatu. Pencipta yang berada karena diri-Nya sendiri. Akan tetapi semuanya itu tidak dapat secara riil dapat membuktikan kepada kita mengenai hakekat Tuhan. Melalui bukti-bukti penciptaan-Nya kita mengetahui, bahwa Tuhan itu ada.
Bukti-bukti yang dikemukakan Thomas didasarkan atas premis yang sama. Argumen kosmologi sering juga dinamakan argumen sebab pertama. Ia adalah suatu argumen deduktif yang mengatakan bahwa apa saja yang terjadi mesti mempunyai sebab, dan sebab itu juga mempunyai sebab dan seterusnya. Rangkaian sebab-sebab mungkin tanpa ujung atau mempunyai titik permulaan dalam sebabnya yang pertama. Aquinas mengeluarkan kemungkinan adanya rangkaian sebab pertama yang kita namakan Tuhan.
Bagi Thomas, argumen kosmologi tentang eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang penting. Menurutnya, sebagai makhluk yang berakal, kita harus membedakan antara ciri-ciri yang aksidental dan ciri-ciri yang esensial tentang realitas, atau antara objek-objek yang bersifat sementara dan objek-objek yang bersifat permanen. Tiap-tiap kejadian antara perubahan memerlukan suatu sebab, dan menurut logika, kita harus kembali ke belakang, kepada sebab yang berada sendiri, tanpa sebab atau kepada Tuhan yang berdiri sendiri. Oleh sebab itu, Tuhan bersifat imanen dalam alam, ia prinsip pembentuk alam. Tuhan adalah syarat bagi perkembangan alam yang teratur serta sumber dan dasarnya yang permanen.[9]
Sekalipun demikian dapat juga dikatakan bahwa orang memang dapat memiliki beberapa pengetahuan filsafati tentang Tuhan. Di sini Thomas mengikuti ajaran Dionisios dari Areopagos, akan tetapi ajaran Neoplatonisme itu dirobah, disesuaikan denga teori pengenalannya yang berdasarkan ajaran Aristoteles.
Melalui akal, ada 3 (tiga) cara manusia dapat mengenal Tuhan, yaitu[10]:
1.      Segala makhluk sekedar mendapat bagian dari keadaan Tuhan. Hal ini mengakibatkan bahwa segala yang secara positif baik pada para makhluk dapat dikenakan juga kepada Tuhan (via positiva).
2.      Sebaliknya juga dapat dikatakan, karena adanya analogi keadaan, bahwa segala yang ada pada makhluk tentu tidak ada pada Tuhan dengan cara yang sama (via negativa).
3.      Jadi, apa yang baik pada makhluk tentu berada pada Tuhan dengan cara yang jauh melebihi keadaan pada para makhluk itu (via iminentiae).

d.      Jiwa
Manusia adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri, yang terdiri dari bentuk (jiwanya) dan materi (tubuhnya). Dikarenakan hubungan antara jiwa dan tubuh sebagai bentuk dan materi atau sebagai aktus dan potensi atau bisa juga dikatakan sebagai perealisasian dari bakat. Jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri seperti yang diajarkan oleh Plato. Terhadap tubuh, jiwa merupakan bentuk atau aktus atau perealisasiannya, karena jiwa adalah daya gerak yang menjadikan tubuh sebagai materi, atau sebagai potensi, menjadi realitas. Jiwalah yang memberikan perwujudan kepada tubuh sebagai materi. Dengan demikian, praeksistensi ditolak oleh Thomas. Akan tetapi jiwa dianggap tidak dapat binasa bersamaan dengan tubuh, jiwa tidak dapat mati.
Bagi Thomas, tiap perbuatan (juga berpikir dan berkehendak) adalah suatu perbuatan segenap pribadi manusia, perbuatan “aku”, yaitu jiwa dan tubuh sebagai kesatuan. Jadi bukan akalku berpikir, atau mataku melihat dsb, akan tetapi aku berpikir, aku melihat, dsb. Kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh manusia hanya dijiwai oleh satu bentuk saja, bentuk rohani, yang sekaligus juga membentuk hidup lahiriah dan batiniah. Jadi, jiwa adalah bersatu dengan tubuh dan menjiwai tubuh.
Jiwa memiliki 5 daya, yaitu[11]:
1.      Daya jiwa vegetatif, yaitu yang bersangkutan dengan pergantian zat dan dengan pembiakan.
2.      Daya jiwa yang sensitif, daya jiwani yang berkaitan dengan keinginan
3.      Daya jiwa yang menggerakkan
4.      Daya jiwa untuk memikir
5.      Daya jiwa untuk mengenal
Daya untuk memikir dan mengenal terdiri dari akal dan kehendak. Akal adalah daya yang tertinggi dan termulia, yang lebih penting daripada kehendak, karena yang benar adalah lebih tinggi daripada yang baik. Mengenal adalah suatu perbuatan yang lebih sempurna daripada menghendaki.[12]
            Berkenaan dengan ilmu dan akal, Thomas menganggap dunia fisik pertama-tama dikenal manusia melalui perspektif iderawi. Dan ia menolak bahwa ide-ide bersifat bawaan sebagaimana yang diyakini oleh para pengikut neo-platonik. Kemudia, ia menandaskan bahwasanya pikiran manusia itu sendiri bersifat aktif. Tuhan tidak memberikan penerangan pikiran yang bersifat eksternal. Sebagai gantinya, Tuhan telah memberikan kepada pikiran, suatu prinsip aktivitas yang bersifat internal, suatu hakikat.[13] Dalam hal ini, akal pikiran manusia itu tidak bersifat pasif terhadap segala pengetahuan yang diperoleh panca indera dan senantiasa mengolah citra-citra yang ditampilkan untuk memahami esensi dari eksistensi dari dunia fisik.

Penutup
Pandangan filsafat Thomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, terutama dalam menjelaskan eksistensi dan esensi dari Tuhan. Hal ini, tidak lepas dari usaha Thomas Aquinas dalam menunjukkan bahwasanya akal dan penyelidikan filosofis cocok dengan iman kristiani. Akan tetapi, penjelasan kosmologis yang digunakannya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan dan alam secara tidak langsung telah mengikat kehendak Tuhan. Yaitu, apabila Tuhan ada maka alam juga harus ada. Padahal, ada atau tidak adanya alam itu tergantung dari kehendak Tuhan.

Daftar Pustaka
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1989)
Robert, C. Solomon, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003)
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat, (Yogyakarta: 1988)
Jhon E. Smith, The Analogy of Experience, (New York: Harper & Row,1973)
Titus, Nolan, Smith, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)



[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), P. 104
[2] Robert, C. Solomon, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), P.263
[3] Ibid, P.264
[4] Harun Hadiwijono, op.Cit, P. 106
[5] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat, (Yogyakarta: 1988), P. 96
[6] Robert, C. Solomon, op.Cit., P.265
[7] Jhon E. Smith, The Analogy of Experience, (New York: Harper & Row,1973), P. 5
[8] Harun Hadiwiono, op.Cit, P. 107-108
[9] Titus, Nolan, Smith, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), P. 454
[10] Harun Hadiwijono, loc.Cit.
[11] Ibid, P. 111
[12] Harun Hadiwijono, loc.Cit.
[13] Robert, C. Solomon, op.Cit., P.266

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 Me and My Mind | Template Blue by TNB